Every person belongs to one’s root. Setiap orang tumbuh dan dibentuk oleh budaya asalnya. Tidak heran jika budaya dan tanah kelahiran kerap masih menjadi inspirasi bagi banyak seniman dan pekerja kreatif untuk berkarya. Dari ranah musik, sebut saja nama Viky Sianipar, musisi Indonesia yang mengemas musik daerah Tapanuli serta mengaransemen ulang beberapa musik daerah di tanah air melalui albumnya, Indonesian Beauty. Musisi asal Jogja, Marzuki Mohamad a.k.a Kill the DJ membuat single soundtrack Ada Apa Dengan Cinta 2 dengan memproduksi ulang lagu dolanan anak ORA MINGGIR TABRAK dan teks Cakra Manggilingan. Lagu ini beraliran Electronic Dance Music dengan perpaduan lirik berbahasa Jawa  dan Bahasa Inggris.

“Fenomena cinta akar budaya,” demikian ungkap Helena Norberg-Hodge, seorang analis terkemuka ekonomi global bidang kebudayaan dan agrikultur asal Amerika Serikat. “Di saat dunia sudah menjadi desa global, setiap orang membutuhkan perasaan aman (secure) dan dimiliki oleh kebudayaan tertentu. Dengan begitu ia tahu dari mana ia berasal, mengakar serta tahu kapan dan ke mana ia harus kembali nanti,” tambah Helena lagi.

Tidak heran memang jika akhirnya banyak karya yang lahir dari para penulis tentang keindahan, tradisi sekaligus kompleksitas budaya serta tanah kelahiran mereka, termasuk saat sudah hijrah dan menapakkan kaki mereka di Negara dan benua lain.   Jhumpa Lahiri, penulis keturunan India kelahiran Inggris yang memenangkan penghargaan Pulitzer untuk novelnya, Interpreter of Maladies (1999), menulis tentang suka duka keluarga keturunan India yang merantau ke Amerika. Keresahannya akan ‘dual-identity’ sebagai warga keturunan juga dituangkannya dalam novel The Namesake (2003), yang sudah diadaptasi ke layar lebar di tahun 2007 oleh sutradara terkenal asal India, Mira Nair.

Ada pula Chimamanda Adichie, penulis muda asal Nigeria yang sekarang banyak menghabiskan waktu studinya di Amerika Serikat yang mengangkat kondisi politik tidak menentu di negara kelahirannya tersebut sebagai latar belakang novel Half of A Yellow Sun (2006). Di luar itu, masih ada nama-nama seperti Muniam Alfaker, Sadanand Dhume dan Vikram Seth yang terus setia “memantau” dan menulis tentang budaya asal mereka di negeri yang jauh.

Apa yang membuat para penulis ini seakan enggan lepas dari cikal bakal mereka? Segun Afolabi, penulis keturunan Nigeria yang menghabiskan tahun-tahun hidupnya di Jakarta, Kanada dan Inggris menambahkan, “Hidup berpindah-pindah membuat saya merasa terasing sekaligus merasa lebih terikat pada negeri tempat saya berasal. Dan perasaan terasing itulah yang kemudian menjadi dinamo bagi saya untuk menulis,” ujar Afolabi. (Kanakata Creative)

Foto: Background photo created by jcomp – www.freepik.com