Sekitar dua tahun yang lalu, dunia maya sempat dihebohkan oleh reaksi pemilik sebuah hotel di Dublin yang menolak dengan keras atas permintaan kerja sama dari seorang influencer untuk menginap gratis, dengan imbalan pembuatan konten di Yotube dan Instagram. Imbasnya, pihak hotel juga menolak bekerja sama dengan semua influencer. Permasalahan serupa rupanya terjadi juga di Indonesia. Seorang pebisnis travel, men-tweet permintaan seorang influencer yang meminta akomodasi gratis untuk 20 orang ke Amerika Serikat, dengan menjual jumlah follower dan konten pada kanal media sosial mereka. Kecaman dari netizen pun mulai bermunculan, termasuk keluhan para pelaku usaha yang pernah ditawarai hal serupa.

Di balik semua ketidaknyamanan berhadapan dengan influencer, nyatanya keberadaan mereka masih diperhitungkan. Dikutip dari situs detik.com, pemerintah berencana menganggarkan dana senilai 72 miliar untuk menggenjot pariwisata Indonesia, salah satunya dialokasikan untuk influencer. Dijanjikan oleh Wishnutama, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah akan selektif mencari influencer yang paling bagus, dengan mempertimbangkan jumlah engagement dan viewers di Youtube atau Instagram – walaupun pada akhirnya ditunda karena virus corona positif masuk di Indonesia.

Tidak dipungkiri, pendekatan personal yang langsung menuju target, menjadikan influencer dinilai lebih efektif dibandingkan beriklan di media tradisional.  Terkadang konsumen tidak lagi percaya pada strategi marketing oleh brand karena dianggap sebagai iklan belaka. Di tangan influencer, produk yang dipromosikan dirasakan lebih nyata dan mengena pada audiens, dibandingkan menggunakan jasa bintang iklan. Walaupun memang pada perkembangannya, sudah semakin banyak influencer yang tidak lagi murni merekomendasikan satu produk berdasarkan pengalaman mereka, tetapi karena dibayar oleh brand yang bersangkutan.

Lepas dari semua itu, influencer dianggap masih laku dan memberi pengaruh pada peningkatan awareness pada suatu brand, dan mungkin bisa meningkatkan omzet. Jika brand atau pelaku bisnis ingin menggunakan jasa mereka, setidaknya ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, brand harus tahu betul bahwa influencer yang bersangkutan cocok dengan image brand secara keseluruhan. Kedua, perhatian konten-konten yang telah dibuat dengan teliti. Jika konten yang diproduksi sering menimbulkan kontroversi atau konflik dengan follower atau sesama influencer, pertimbangkan kembali, karena ini menyangkut dengan image brand yang keburu melekat pada influencer tersebut. Ketiga, cek profesionalitas dan kedewasaan mereka. Pastikan ada kontrak mengikat, sehingga pelaku bisnis mendapatkan paparan yang diinginkan, sesuai dengan nilai yang diberikan. Keempat, saat memilih influencer, pastikan jumlah followers organik yang dimiliki, bukan dibeli. Anda bisa mengeceknya melalui aplikasi yang dapat mendeteksi akun palsu berdasarkan engagement, spam, dan aktivitas secara keseluruhan.  (Kanakata Creative)

Foto: Daria Shevtsova

Need Help?