CEO TALKS : Rendah Hati, Tantangan Abadi Pemimpin

  • date August 31 2021

Menjadi seorang yang mengawali karier dari paling bawah, hingga ke posisi puncak, merupakan bekal dan proses yang saya syukuri. Sebagai anak bawang alias anak baru, saya tentu tak lepas dari ‘dikerjai’ para senior, melakukan tugas-tugas yang mereka enggan lakukan. Nostalgia sedikit, awal saya bekerja, internet masih langka, belum banyak agensi penjual stil foto atau ilustrasi seperti sekarang. Saya harus menggunting gambar selebritas, lipstik, buku, baju, dari majalan luar, menempelkan di kertas, membuat kategori, dan mengumpulkannya di dalam satu map. Jika dibutuhkan untuk kepentingan layout, hasil ‘prakarya’ saya itu, akan discan oleh tim artistik, dan diaplikasikan dalam desain. Mungkin generasi sekarang kurang ‘relate’ dengan hal ini, karena sekarang dengan mudah tinggal googling, copas, dan voila, gambar yang diinginkan pun sudah terpampang di laptop. Sempet kepikiran sih, susah-susah jadi sarjana, masa kerjanya cuma bikin kliping? Eits, tapi itu cuma sementara kok, setelah itu kerja ‘beneran’ pun dimulai; dari wawancara, membuat transkrip, menulis, sampai menjadi EO untuk acara perusahaan.

 

Karier saya pun terbilang bagus, perlahan-lahan, naik satu posisi, naik lagi berikutnya, lagi dan lagi. Jujur, ketika mendapatkan posisi baru, ada perasaan menyenangkan dan powerful, karena artinya punya ‘kekuasaan’ lebih yang bisa digunakan, termasuk untuk memudahkan pekerjaan saya. Potensi berbuat semena-mena pada bawahan sangat terbuka. Apalagi pelakunya tidak sedikit. Somehow, saya nggak melakukannya, hanya karena saya tahu bagaimana sulitnya menjadi anak baru, yang harus beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan baru. Kalau mereka berbuat salah pun, saya tidak mengamuk atau marah berkepanjangan, cukup memberikan evaluasi dan mengontrol pekerjaan mereka, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ketika sudah sampai limitnya, diajak omong, kalau masih ‘mental’ juga, diserahkan ke atasan dan HRD, sehingga bisa diambil keputusan yang sesuai dengan kinerja yang bersangkutan.

 

Saat ini, saya menduduki posisi sebagai pemilik perusahaan – ya, ini adalah posisi tertinggi saya! – kekuasaan sepenuhnya berada di tangan saya. Saya bisa saja menaikkan gaji setinggi-tingginya kepada diri saya, menambah fasilitas ini itu, atau dengan mudah memerintahkan karyawan untuk melakukan tugas-tugas tambahan tanpa mempertimbangkan waktu kerja.  Saya menyadari, sikap yang demikian itu tidak memberikan manfaat apa pun buat saya, bisa-bisa malah menghancurkan bisnis yang sudah saya bangun pada enam tahun terakhir ini. Saya jadi ingat beberapa teman saya yang mulai lupa diri dan memandang sebelah mata karena menduduki posisi puncak; bisa dengan bangga menceritakan ‘kekuatan’ mereka menekan anak buah demi memenuhi ambisinya. Atau meremehkan pandangan tim karena berada di posisi lebih tinggi.

 

Ketika kekuasaan berada di tangan, tidak sedikit tantangannya. Secara pribadi, tantangan abadi seorang pemimpin adalah bagaimana bisa tetap rendah hati. Bagaimana bisa menerima usulan dari anak buah yang ternyata lebih cemerlang dari kita, mengapresiasi kinerja anak buah walaupun tidak memenuhi ekspektasi kita seratus persen, hingga mau menyediakan telinga ketika mereka sedang mengalami kesulitan. Terkadang, ya tetap harus mengerjakan tugas-tugas yang ‘remeh temeh’ ketika dibutuhkan. Dengan mengutamakan kerendah-hatian, saya merasa selalu punya banyak ruang untuk belajar hal-hal baru, menjadi lebih peka, dan beradaptasi dengan perubahan. Bekal inilah yang memampukan saya untuk menganalisis dan menentukan langkah apa yang harus dilakukan dalam perusahaan.

 

Rully Larasati, CEO Kanakata Creative 

Send Message

location

GED 88, Tower A Level 38, Kota Kasablanca Jl. Casablanca Raya, Kav. 88, Jakarta 12870

email

marketing@kanakata.co

×